Penyesalan Rei
Bilanya
semua orang tau kapan orang yang dikasihinya akan pergi untuk selamanya tidak
akan adalah kata penyesalan. Tidak akan ada tindakan-tindakan yang akan membuat
orang yang akan pergi itu tersakiti. Tidak aka nada kata-kata kasar yang
mengiringi menjelang kepergiannya. Tidak aka ada penolakan atas semua
permintaan yang diinginkannya sebelum dia pergi. Tentu juga kesedihan akan
berkurang karena semua orang telah bersiap menjelang kepergiannya. Namun apa
daya manusia. Tuhan memutuskan untuk merahasiakan semua itu dari umatNya. Dia
mengambil orang-orang tersebut sesuai dengan kesepakatan jauh sebelum mereka
lahir dari perut sang ibu. Dan kini penyesalan yang dalam sedang dirasakan
mereka yang tak mempedulikan hadirnya seseorang yang sebenarnya mereka butuhkan
Januari
Lagi dan
lagi ibu mengirim surat memintaku untuk kembali ke kampung halaman. Namun hanya
empat surat di empat bulan pertama saja yang kubaca. Selebihnya aku terlalu
sibuk mementingkan membuka surat-sarat yang menyangkut pekerjaanku saja. Karena
setelah kubaca tulisan-tulisan ibu isinya sama saja, hanya tanggal dan harinya
saja yang berbeda. Walaupun ada beda dalam isi surat paling hanya mengabarkan
tetangga-tetanggaku yang lahiran, menikah dan meninggal. Sebenarnya bukan ku
tak rindu dengan ibu dan kampong halamanku. Namun demi cita-citaku, ku
pertahankan diri untuk tetap bertahan di negeri ini. Jaraknya ribuan kilometer
dari kampungku, terpisah benua, samudra yang jauh. Aku memutuskan akan pulang
setelah semua cita-citaku tercapai dan aku akan mewujudkan cita-cita ibu untuk
naik haji.
Hari demi
hari, bulan demi bulan, aku semakin tenggelam dalam pekerjaanku. Dua tahun
sudah aku di negeri orang-orang bule ini. Karirku semakin meningkat, kini aku
menjabat sebagai salah seorang staff financial analysist di salah satu kantor
konsultan ternama dinegeri ini. Selama itu pula surat-surat ibu terus
berdatangan. Aku hanya sempat membaca tulisan depan amplop, tulisan tangan asli
ibuku. Malam ini aku ada acara makan malam bersama WNI yang ada di negeri ini
di kantor kedutaan. Kulihat jadwal ku untuk esok hari, tak terlalu padat.
Kuputuskan untuk datang ke acara makan malam tersebut.
Aku
memakai kemeja putih dan celana hitamku. Aku tak pandai memilih-milih baju,
biasanya ibu yang memilihkanku. Dan semenjak menetap di negeri ini, yang ku
tahu putih dan hitam adalah warna yang netral untuk setiap acara. Itu yang ibu
katakana padaku. Suasana makan malam yang hangat. Seperti yang diketahui dunia,
orang Indonesia terkenal dengan ramah tamahnya. Ya, berhubung kami jauh tinggal
dari ibu pertiwi ramah tamah dan rasa kekeluargaan seperti ini akan menjadi
moment yang berharga bagi kami. Hitung-hitung untuk melepaskan rindu dengan
sanak saudara yang nun jauh disana.
Makan
malam ini juga saatnya untukku melepas rindu dengan teman-temanku sesama WNI
yang bekerja di negeri ini juga. Aku mempunya tiga orang teman dekat namun
karena kesibukan kami di masing-masig pekerjaan membuat intensitas pertemuan
kami semakin berkurang. Mereka adalah Adi yang bekerja sebagai staff medis
disalah satu rumah sakit di negeri ini. Noura dan Agung yang bekerja di KBRI di
Negara ini. Kami dekat dua tahun lalu saat halal bi halal hari raya idul fitri
dua tahun yang lalu. Karena kesibukan kami tidak pulang waktu itu. Karena
kesamaan nasib itulah kami menjadi dekat.
Malam itu
aku melihat Agung bersanding dengan seorang wanita yang jauh lebih tua darinya.
Aku mendekati Agung.
“hai
gung, apakabar?”
Sapaku
sambil menjabat tangan agung.
“hai Rei,
baik, lo apakabar? Kayaknya makin sibuk aja nih”
“hahaha
baik kok, ya maklum lah gung demi mencapai cita-cita.”
Aku
melirik wanita di sebelah agung, kutundukkan kepalaku tanda hormat kepadanya.
Agung memperkenalkan wanita itu kepadaku dan kami bersalaman.
“kenalin
Rei ibuk gue, sebulan yang lalu gue jemput dan tinggal disini nemenin gue”
“selamat
malam tante, saya agung”
“Selamat
malam, saya ibunya Agung nak Rei”
“Jadi
ibuk menetap disini dong ya?”
“sebenarnya
ibuk tidak mau, tapi agung memaksanya, katanya tidak tahan kalau harus
berlama-lama pisah dari ibuk. Dari pada ibunya di telpon terus setiap hari ya
sudah terpakasa menemani anak ibu satu ini”
“Yah,
ibuk kok buka rahasia, agung kan malu, yaa gitulah Rei namanya juga anak
bungsu, toh kakak gue juga udah berkeluarga jadi kasian ibu kalo harus tinggal
dirumah sendirian, mending disini bisa masakin gue tiap hari”
Agung
memeluk ibunya mesra sekali, ibu agung membalas mencium pipinya. Mereka berdua
tidak malu menampakkan keromantisan mereka. Tiba-tiba aku merasa berkeringat
dingin, ruang hatiku bergejolak kuat, perutku terasa mual dan wajahku merasa
panas walau kedua tangan dan tubuhku dingin. Sedih ini, aku teringat ibu, aku
merindukan ibuku.
Sebelum sempat aku meneteskan air mata aku
meninggalkan acara makan malam dan kembali ke apartemenku. Setibanya di apartemen,
entah apa yang ku rasa saat itu aku menangis sejadi-jadinya seluruh tubuhku
bergetar.selama ini alasan ku tak mengajak ibu karena aku takut orang-orang
mengejek ibuku karena sudah tua dan penampilannya karena berasal dari kampong.
Namun apa yang ku lihat malam ini. Agung membawa ibunya yang juga dari kampong,
bahkan dia dengan bangga memperkenalkan ibunya. Sedangkan aku? Walau tujuanku
bertahan di kota ini adalah untuk membahagiakan ibu nantinya. Namun
tindakan-tindakanku jauh dari kata membahagiakannya.
Ada sesal yang kurasa, mengapa selama ini aku
tak membaca surat-surat ibu, mengapa aku tak membalas surat ibu, mengapa aku
tega meninggalkan ibu sendiri dikampung tanpa sanak saudara dan pendamping.
Wajah ibu yang penuh kelembutan, belaian tangannya yang hangat,
nasihat-naasihatnya. Semuanya membayangiku hingga aku terlelap memeluk foto
ibu, yang berada di atas lemari sudah berdebu.
Pagi-pagi
sekali aku bergegas ke kantor. Aku berencana akan cuti panjang, aku akan pulang
menemui ibu dan membawanya tinggal bersamaku. Jadi aku akan menyelesaikan semua
pekerjaanku seminggu kedepan. Untunglah saat ini pekerjaanku sedikit lengang.
Dan week end besok aku akan bertemu ibu. Berjuta rencanaku untuk membahagikan
ibu terlah kubuat. Aku tak sabar mewujudkannya. Aku meminta maaf kepadanya, kan
ku cuci telapak kakinya dan kucium. Akan ku ajak ibu berkeliling kota, makan di
tempat yang dulu kami impikan dan tentu saja membeli semua yang dia inginkan.
Kini aku
merasa lebih baik, mengingat ibu yang kini sekarang selalu ku ingat. Aku tak
sabar melihat reaksinya melihat kedatanganku. Ibu tunggu kepulangan anakmu
yaaa.
Hari ini
pesawatku akan berangkat pukul Sembilan pagi. Aku melewati pertokoan dengan
barang-barang branded. Ku sempatkan untuk mampir di salah satu took yang
menjual tas-tas wanita yang bermerek. Aku membeli salah satu tas untuk ibu.
Melihat kerianganku penjaga took menyambutku dengan ramah. Dan setelah ku
jelaskan aku membelikan tas tersebut untukk ibuku. Dia semakin ramah dan
memilihkan tas terbaik dan cocok untuk ibuku. Kami berpisah dan dia berkata
‘ibumu pasti bangga memiliki anak sepertimu’ dan akupun berlalu.
Dua belas
jam perjalanan mulai dari pesawat, kereta dan berlanjut taksi. Sebenarnya aku
sedikit merasakan jetlag. Namun memngingat pertemuan yang akan kudapati nanti
membuat semua rasa lelah dan letihku terkalahkan. Aku tak sabar melihat wajah
ibu yang terkaget-kaget atas kedatanganku. Aku tak sabar melihatnya tersenyumm
dan menangis haru. Dan kurasa taka da salahnya nanti aku akan merencanakan sedekah
kecil-kecilan untuk mendoakan ayahku dan dua orang kakak perempuanku yang telah
meninggal ketika mereka masing-masing berumur dua tahun. Ibu pasti akan senang.
Aku
berhenti didepan lorong rumahku. Aku berjalan dengan riang dan senyuman yang
tak henti-hentinya. Kilasan-kilasan masa kecilku kembali terurai sepanjang
lorong tempat tinggalku. Tak banyak yang berubah, hanya saja jumlah anak kecil
yang semakin bertambah sepertinya. Rumah-rumah semakin padat. Akhirnya aku tiba
di rumah, pintu rumah tertutup rapat. Namun ada beberapa sandal-sendal di depan
rumah. Sepertinya ada banyak orang didalam rumah. Mungkin mereka
tetangga-tetangga yang sedang menemani ibu.
Aku
mengetuk pintu rumah. Tak lama pintu rumah terbuka. Bukan ibu yang menyambutku,
tapi aku mengenali wanita ini. Dia wak imah, tetanggaku dan teman baik ibu.
“assalamualaikum,
waaak imah apa kabar?”
“walaikum
salamm…” “rei?”
Jawab wak
imah yang terkejut dan dengan mata berkaca-kaca. Aku mengangguk, sesaat
kemudian dia memelukku erat sekali dan menangis. Bukan tangisan bahagia
menyambut kedatanganku namun tangisan yang begitu perih, perih sekali. Beberapa
orang tetangga lagi muncul dari belakang rumah. Mereka juga berkaca-kaca dan
akhirnya menangis. Namun wanita yang ingin sekali ku temui tak Nampak. Kemana
dia? Mengapa, mengapa dia tak menemuiku? Wak imah semakin tersedu-sedu. Dia
menguatkan untuk menatapku. Matanya sayu, dia menarik napas dalam.
“kemana
saja kamu? Mengapa baru datang sekarang? Bukankah uwak telah mengirimkan
suratnya dua minggu yang lalu?”
“surat
wak? Surat apa?”
“masya
Allah, kamu belum tau rei?”
Uwak
kembali menangis. Dia memeluk ku erat-erat sambil mengucap istighfar
berkali-kali.
“kasihan
kamu nak, astaghfirullah”
Uwak
menarikku kekamar ibu, pikiranku carut marut. Apa yang terjadi, setibanya di
kamar ibu, kukira ibu ada didalam kamar, namun tak ku dapati sosok yang amat
kurindukan itu. Ku hentikan langkah dan terhenyak menatap kamar sederhana
ibu.
Lengang namun nyaman dan damai. Ada rasa aneh menyelusup ke dalam relung hatiku.
Air mata ini jatuh, aku seperti sadar dari mimpi indah, aku tersadar bahwa yang
terjadi kedepan tak akan seindah bayanganku.
“ibu mana
wak?” tanyaku gemetar memegang tangan uwak didadaku. Uwak hanya menggeleng dan
menahan air mata yang telah mengalir deras. Jarinya menunjuk papan pengumuman
yang diatasnya tertulis dengan huruf Arab
‘innalillahi wainna ilaihi roji’un’. Dan kulihat data orang yang tertulis
di papan tersebut. Aku merasa remuk, tak percaya dengan yang kulihat. Ya Allah
ibu meninggal tepat di saat Agung membanggakan ibunya didepanku. Ya Allah ibu,
maaf, maafkan anakmu yang telah sengaja melupakan dan tidak menghiraukanmu.
Ibuu ibuuu ibuuu…. Mengapa malah kau yang memberikan aku kejutan mengapa bukan
aku ibu? Sesaat kemudia aku merasa seluruh tenaga ku hilang pandanganku gelap
dan aku tak sadarkan diri.
Lama aku
baru terjaga. Tepat di tengah malam aku terjaga, kulihat wak imah masih setia
menemani aku. Dia masih menatap ku dengan sedih, namun sedikit senyum terukir
ketika dia melihatku tersadar. Dia mengusap kepalaku dengan minyak urut
tradisional. Seminggu berlalu aku masih dalam masa kabungku. Tiap malam ku
kirimkan doa untuk ayah ibu dan ke dua kakakku. Kini aku benar-benar sendiri.
Bila saja ku buka dua surat terakhir dari ibu pastilah aku tak akan terlambat.
Pastilah aku akan bertemu dengan ibu. Pastilah semua angan dan kejutanku dapat
ibu rasakan. Namun kini hanya sesal yang aku rasakan.
Sebulan
berlalu rasa berkabung itu tetap terasa walau tak sesakit dulu. Aku memutuskan
akan melanjutkan pekerjaanku. Rumah ini biarlah ku titipkan kepada wak imah,
toh selama hidupnya dia selalu mengontrak. Hitung-hitung dia ikut menjaga rumah
peninggalan orang tuaku. Akau berpamitan kepada wak imah, kembali kami
meneteskan air matas. Sebelum pergi aku pergi kepusara ayah ibu dan
kakak-kakakku pedih ini biarlah kutanggung. Kelak menjadi pelajaran yang
berharga bagiku
untuk
tidak menyia-nyiakan orang yang menyayangiku. Tak lupa tas yang ku belikan
untuk ibu, kuberika kepada wak imah. Selama ini selain ibu, wak imah pun turut
memiliki andil besar atas ke suksesanku. Selanjutnya
aku kembali dalam rutinitasku. Dan kini terbalik aku yang mengirimi wak Imah
surat dan sedikit uang. Uwak selalu membalas surat-suratku. Perlahan namun
pasti aku mulai menerima kenyataan ini dan memulai hidup baruku.
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar