Selasa, 17 Juli 2012

Penyesalan Rei


Bilanya semua orang tau kapan orang yang dikasihinya akan pergi untuk selamanya tidak akan adalah kata penyesalan. Tidak akan ada tindakan-tindakan yang akan membuat orang yang akan pergi itu tersakiti. Tidak aka nada kata-kata kasar yang mengiringi menjelang kepergiannya. Tidak aka ada penolakan atas semua permintaan yang diinginkannya sebelum dia pergi. Tentu juga kesedihan akan berkurang karena semua orang telah bersiap menjelang kepergiannya. Namun apa daya manusia. Tuhan memutuskan untuk merahasiakan semua itu dari umatNya. Dia mengambil orang-orang tersebut sesuai dengan kesepakatan jauh sebelum mereka lahir dari perut sang ibu. Dan kini penyesalan yang dalam sedang dirasakan mereka yang tak mempedulikan hadirnya seseorang yang sebenarnya mereka butuhkan

Januari

Lagi dan lagi ibu mengirim surat memintaku untuk kembali ke kampung halaman. Namun hanya empat surat di empat bulan pertama saja yang kubaca. Selebihnya aku terlalu sibuk mementingkan membuka surat-sarat yang menyangkut pekerjaanku saja. Karena setelah kubaca tulisan-tulisan ibu isinya sama saja, hanya tanggal dan harinya saja yang berbeda. Walaupun ada beda dalam isi surat paling hanya mengabarkan tetangga-tetanggaku yang lahiran, menikah dan meninggal. Sebenarnya bukan ku tak rindu dengan ibu dan kampong halamanku. Namun demi cita-citaku, ku pertahankan diri untuk tetap bertahan di negeri ini. Jaraknya ribuan kilometer dari kampungku, terpisah benua, samudra yang jauh. Aku memutuskan akan pulang setelah semua cita-citaku tercapai dan aku akan mewujudkan cita-cita ibu untuk naik haji.

Hari demi hari, bulan demi bulan, aku semakin tenggelam dalam pekerjaanku. Dua tahun sudah aku di negeri orang-orang bule ini. Karirku semakin meningkat, kini aku menjabat sebagai salah seorang staff financial analysist di salah satu kantor konsultan ternama dinegeri ini. Selama itu pula surat-surat ibu terus berdatangan. Aku hanya sempat membaca tulisan depan amplop, tulisan tangan asli ibuku. Malam ini aku ada acara makan malam bersama WNI yang ada di negeri ini di kantor kedutaan. Kulihat jadwal ku untuk esok hari, tak terlalu padat. Kuputuskan untuk datang ke acara makan malam tersebut.

Aku memakai kemeja putih dan celana hitamku. Aku tak pandai memilih-milih baju, biasanya ibu yang memilihkanku. Dan semenjak menetap di negeri ini, yang ku tahu putih dan hitam adalah warna yang netral untuk setiap acara. Itu yang ibu katakana padaku. Suasana makan malam yang hangat. Seperti yang diketahui dunia, orang Indonesia terkenal dengan ramah tamahnya. Ya, berhubung kami jauh tinggal dari ibu pertiwi ramah tamah dan rasa kekeluargaan seperti ini akan menjadi moment yang berharga bagi kami. Hitung-hitung untuk melepaskan rindu dengan sanak saudara yang nun jauh disana.

Makan malam ini juga saatnya untukku melepas rindu dengan teman-temanku sesama WNI yang bekerja di negeri ini juga. Aku mempunya tiga orang teman dekat namun karena kesibukan kami di masing-masig pekerjaan membuat intensitas pertemuan kami semakin berkurang. Mereka adalah Adi yang bekerja sebagai staff medis disalah satu rumah sakit di negeri ini. Noura dan Agung yang bekerja di KBRI di Negara ini. Kami dekat dua tahun lalu saat halal bi halal hari raya idul fitri dua tahun yang lalu. Karena kesibukan kami tidak pulang waktu itu. Karena kesamaan nasib itulah kami menjadi dekat.

Malam itu aku melihat Agung bersanding dengan seorang wanita yang jauh lebih tua darinya. Aku mendekati Agung.

“hai gung, apakabar?”

Sapaku sambil menjabat tangan agung.

“hai Rei, baik, lo apakabar? Kayaknya makin sibuk aja nih”

“hahaha baik kok, ya maklum lah gung demi mencapai cita-cita.”

Aku melirik wanita di sebelah agung, kutundukkan kepalaku tanda hormat kepadanya. Agung memperkenalkan wanita itu kepadaku dan kami bersalaman.

“kenalin Rei ibuk gue, sebulan yang lalu gue jemput dan tinggal disini nemenin gue”

“selamat malam tante, saya agung”

“Selamat malam, saya ibunya Agung nak Rei”

“Jadi ibuk menetap disini dong ya?”

“sebenarnya ibuk tidak mau, tapi agung memaksanya, katanya tidak tahan kalau harus berlama-lama pisah dari ibuk. Dari pada ibunya di telpon terus setiap hari ya sudah terpakasa menemani anak ibu satu ini”

“Yah, ibuk kok buka rahasia, agung kan malu, yaa gitulah Rei namanya juga anak bungsu, toh kakak gue juga udah berkeluarga jadi kasian ibu kalo harus tinggal dirumah sendirian, mending disini bisa masakin gue tiap hari”

Agung memeluk ibunya mesra sekali, ibu agung membalas mencium pipinya. Mereka berdua tidak malu menampakkan keromantisan mereka. Tiba-tiba aku merasa berkeringat dingin, ruang hatiku bergejolak kuat, perutku terasa mual dan wajahku merasa panas walau kedua tangan dan tubuhku dingin. Sedih ini, aku teringat ibu, aku merindukan ibuku.

 Sebelum sempat aku meneteskan air mata aku meninggalkan acara makan malam dan kembali ke apartemenku. Setibanya di apartemen, entah apa yang ku rasa saat itu aku menangis sejadi-jadinya seluruh tubuhku bergetar.selama ini alasan ku tak mengajak ibu karena aku takut orang-orang mengejek ibuku karena sudah tua dan penampilannya karena berasal dari kampong. Namun apa yang ku lihat malam ini. Agung membawa ibunya yang juga dari kampong, bahkan dia dengan bangga memperkenalkan ibunya. Sedangkan aku? Walau tujuanku bertahan di kota ini adalah untuk membahagiakan ibu nantinya. Namun tindakan-tindakanku jauh dari kata membahagiakannya.

 Ada sesal yang kurasa, mengapa selama ini aku tak membaca surat-surat ibu, mengapa aku tak membalas surat ibu, mengapa aku tega meninggalkan ibu sendiri dikampung tanpa sanak saudara dan pendamping. Wajah ibu yang penuh kelembutan, belaian tangannya yang hangat, nasihat-naasihatnya. Semuanya membayangiku hingga aku terlelap memeluk foto ibu, yang berada di atas lemari sudah berdebu.

Pagi-pagi sekali aku bergegas ke kantor. Aku berencana akan cuti panjang, aku akan pulang menemui ibu dan membawanya tinggal bersamaku. Jadi aku akan menyelesaikan semua pekerjaanku seminggu kedepan. Untunglah saat ini pekerjaanku sedikit lengang. Dan week end besok aku akan bertemu ibu. Berjuta rencanaku untuk membahagikan ibu terlah kubuat. Aku tak sabar mewujudkannya. Aku meminta maaf kepadanya, kan ku cuci telapak kakinya dan kucium. Akan ku ajak ibu berkeliling kota, makan di tempat yang dulu kami impikan dan tentu saja membeli semua yang dia inginkan.

Kini aku merasa lebih baik, mengingat ibu yang kini sekarang selalu ku ingat. Aku tak sabar melihat reaksinya melihat kedatanganku. Ibu tunggu kepulangan anakmu yaaa.

Hari ini pesawatku akan berangkat pukul Sembilan pagi. Aku melewati pertokoan dengan barang-barang branded. Ku sempatkan untuk mampir di salah satu took yang menjual tas-tas wanita yang bermerek. Aku membeli salah satu tas untuk ibu. Melihat kerianganku penjaga took menyambutku dengan ramah. Dan setelah ku jelaskan aku membelikan tas tersebut untukk ibuku. Dia semakin ramah dan memilihkan tas terbaik dan cocok untuk ibuku. Kami berpisah dan dia berkata ‘ibumu pasti bangga memiliki anak sepertimu’ dan akupun berlalu.

Dua belas jam perjalanan mulai dari pesawat, kereta dan berlanjut taksi. Sebenarnya aku sedikit merasakan jetlag. Namun memngingat pertemuan yang akan kudapati nanti membuat semua rasa lelah dan letihku terkalahkan. Aku tak sabar melihat wajah ibu yang terkaget-kaget atas kedatanganku. Aku tak sabar melihatnya tersenyumm dan menangis haru. Dan kurasa taka da salahnya nanti aku akan merencanakan sedekah kecil-kecilan untuk mendoakan ayahku dan dua orang kakak perempuanku yang telah meninggal ketika mereka masing-masing berumur dua tahun. Ibu pasti akan senang.

Aku berhenti didepan lorong rumahku. Aku berjalan dengan riang dan senyuman yang tak henti-hentinya. Kilasan-kilasan masa kecilku kembali terurai sepanjang lorong tempat tinggalku. Tak banyak yang berubah, hanya saja jumlah anak kecil yang semakin bertambah sepertinya. Rumah-rumah semakin padat. Akhirnya aku tiba di rumah, pintu rumah tertutup rapat. Namun ada beberapa sandal-sendal di depan rumah. Sepertinya ada banyak orang didalam rumah. Mungkin mereka tetangga-tetangga yang sedang menemani ibu.

Aku mengetuk pintu rumah. Tak lama pintu rumah terbuka. Bukan ibu yang menyambutku, tapi aku mengenali wanita ini. Dia wak imah, tetanggaku dan teman baik ibu.

“assalamualaikum, waaak imah apa kabar?”

“walaikum salamm…” “rei?”

Jawab wak imah yang terkejut dan dengan mata berkaca-kaca. Aku mengangguk, sesaat kemudian dia memelukku erat sekali dan menangis. Bukan tangisan bahagia menyambut kedatanganku namun tangisan yang begitu perih, perih sekali. Beberapa orang tetangga lagi muncul dari belakang rumah. Mereka juga berkaca-kaca dan akhirnya menangis. Namun wanita yang ingin sekali ku temui tak Nampak. Kemana dia? Mengapa, mengapa dia tak menemuiku? Wak imah semakin tersedu-sedu. Dia menguatkan untuk menatapku. Matanya sayu, dia menarik napas dalam.

“kemana saja kamu? Mengapa baru datang sekarang? Bukankah uwak telah mengirimkan suratnya dua minggu yang lalu?”

“surat wak? Surat apa?”

“masya Allah, kamu belum tau rei?”

Uwak kembali menangis. Dia memeluk ku erat-erat sambil mengucap istighfar berkali-kali.

“kasihan kamu nak, astaghfirullah”

Uwak menarikku kekamar ibu, pikiranku carut marut. Apa yang terjadi, setibanya di kamar ibu, kukira ibu ada didalam kamar, namun tak ku dapati sosok yang amat kurindukan itu. Ku hentikan langkah dan terhenyak menatap kamar sederhana

ibu. Lengang namun nyaman dan damai. Ada rasa aneh menyelusup ke dalam relung hatiku. Air mata ini jatuh, aku seperti sadar dari mimpi indah, aku tersadar bahwa yang terjadi kedepan tak akan seindah bayanganku.

“ibu mana wak?” tanyaku gemetar memegang tangan uwak didadaku. Uwak hanya menggeleng dan menahan air mata yang telah mengalir deras. Jarinya menunjuk papan pengumuman yang diatasnya tertulis dengan huruf Arab ‘innalillahi wainna ilaihi roji’un’. Dan kulihat data orang yang tertulis di papan tersebut. Aku merasa remuk, tak percaya dengan yang kulihat. Ya Allah ibu meninggal tepat di saat Agung membanggakan ibunya didepanku. Ya Allah ibu, maaf, maafkan anakmu yang telah sengaja melupakan dan tidak menghiraukanmu. Ibuu ibuuu ibuuu…. Mengapa malah kau yang memberikan aku kejutan mengapa bukan aku ibu? Sesaat kemudia aku merasa seluruh tenaga ku hilang pandanganku gelap dan aku tak sadarkan diri.

Lama aku baru terjaga. Tepat di tengah malam aku terjaga, kulihat wak imah masih setia menemani aku. Dia masih menatap ku dengan sedih, namun sedikit senyum terukir ketika dia melihatku tersadar. Dia mengusap kepalaku dengan minyak urut tradisional. Seminggu berlalu aku masih dalam masa kabungku. Tiap malam ku kirimkan doa untuk ayah ibu dan ke dua kakakku. Kini aku benar-benar sendiri. Bila saja ku buka dua surat terakhir dari ibu pastilah aku tak akan terlambat. Pastilah aku akan bertemu dengan ibu. Pastilah semua angan dan kejutanku dapat ibu rasakan. Namun kini hanya sesal yang aku rasakan.        

Sebulan berlalu rasa berkabung itu tetap terasa walau tak sesakit dulu. Aku memutuskan akan melanjutkan pekerjaanku. Rumah ini biarlah ku titipkan kepada wak imah, toh selama hidupnya dia selalu mengontrak. Hitung-hitung dia ikut menjaga rumah peninggalan orang tuaku. Akau berpamitan kepada wak imah, kembali kami meneteskan air matas. Sebelum pergi aku pergi kepusara ayah ibu dan kakak-kakakku pedih ini biarlah kutanggung. Kelak menjadi pelajaran yang berharga bagiku

untuk tidak menyia-nyiakan orang yang menyayangiku. Tak lupa tas yang ku belikan untuk ibu, kuberika kepada wak imah. Selama ini selain ibu, wak imah pun turut memiliki andil besar atas ke suksesanku. Selanjutnya aku kembali dalam rutinitasku. Dan kini terbalik aku yang mengirimi wak Imah surat dan sedikit uang. Uwak selalu membalas surat-suratku. Perlahan namun pasti aku mulai menerima kenyataan ini dan memulai hidup baruku.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar