Kamis, 16 Februari 2023

autobiografi

Usiaku 24 tahun, Namaku Liani. Orang tuaku bercerai ketika aku kelas 5 SD, aku memiliki seorang adik bernama Diba. Papa tinggal berbeda kota dengan kami, kini Papa sudah menikah lagi dan ibu tiriku, aku tak pernah bertemu dan tak pernah ingin bertemu dengannya. Kabar terakhir yang kudengar papa dan istri barunya sudah memiliki 2 orang anak, laki-laki dan perempuan, mereka kembar. Sedangkan mamaku, dia seorang wanita keturunan Minang yang mandiri sebenarnya papa juga, tapi dia tidak mandiri. Berbekal warisan dari Inyiak (Inyiak - kakek) Mama, Tante dan Om ku melanjutkan usaha keluarga dengan membuka minimarket dan rumah makan padang. Kini Rumah Makan Padang kami sudah dikenal hampir di seluruh Sumatra dan sebagian Pulau Jawa. Mama tidak menikah lagi setelah bercerai dengan papa. Mama seorang wanita yang mandiri, tegas dan disiplin, walau begitu aku sangat menyayangi Mama. Dari kecil aku selalu mengikuti kata-kata mama, semua larangan dan anjuran mama. Apapun, apapun yang mama minta sebisa mungkin selalu aku coba untuk penuhi, termasuk masalah pasangan dan pekerjaan. 
Adikku Diba, dia satu tahun dibawahku. Kami sangat dekat, aku juga sangat menyayangi Diba. Kami tumbuh bersama dalam lingkungan keluarga besar yang kental dengan budaya minang dan islami. Enam bulan lagi Diba dan pacarnya Idham akan menikah. Aku tak berkeberatan bila Diba menikah lebih dulu. Diba lebih manis dariku, dia memiliki bentuk tubuh yang lebih ideal daripada aku. Diba selalu manja denganku, Diba adik kecil yang selalu memintaku untuk membuatkan roti panggang isi keju setiap kali sarapan. Tapi sudah hampir satu tahun aku jarang membuatkannya. 
Satu tahun yang lalu aku tinggal berbeda kota dengan Mama dan Diba. Selepas kuliah Mama ingin aku belajar bagaimana mengolah Rumah makan dengan Om Hadi, adiknya. Maka dengan berat hati karena belum siap berpisah dengan mereka aku pergi berangkat ke Pulau Bangka bersama Om Hadi. Di Bangka keluarga kami baru membuka cabang Rumah Makan Padang, mereka berpikir ini waktu yang tepat untukku belajar sebagai seorang pengusaha Rumah Makan. Satu bulan setelah acara wisuda aku berangkat. 
Aku ingat saat turun dari pesawat, setibanya di Bangka rasanya dada ini sesak sekali, air mata sudah menggenang dipelupuk mata namun ku tahan. Aku tidak mau Mama melihatku menangis. Rasanya terlalu cepat untuk berpisah dengan Mama dan Diba. Padahal Palembang Bangka itu dekat sekali, tapi rasanya jauh sekali. 
"Nanti Liani satu bulan sekali kan bisa pulang ke Palembang, jadi kamu nggak perlu merasa sedih ya"
Kalimat pertama yang Mama lontarkan, kalimat penghibur. Kalimat yang melegakanku, tapi tetap saja rasanya berat karena tak ada angka pasti berapa lama aku harus tinggal dan belajar disini. Mama hanya menginap dua malam disini. Karena Diba akan menghadapi ujian akhir semester besok lusa.

Dihari pertama kerja, Mama menyiapkan segala keperluanku, mulai dari baju, sarapan dan jilbabku. Padahal semuanya sudah aku persiapkan, apalagi sarapan, mama semestinya tidak perlu menyiapkan sarapan. Karena kami tinggal satu lingkungan dengan Rumah makan yang baru dibuka. Setiap RM yang berada jauh dari kota selalu ada mess untuk para karyawan. Jadi setiap pagi selalu tersedia sarapan untuk semua karyawan.

"Ayo dimakan Li"
"Iya Ma"
Mama tau aku sedih, Mama tau sebenarnya sangat berat bagiku untuk berpisah dengannya, tapi Mama wanita yang tegas dan teguh terhadap pilihannya. Dia tahu yang terbaik untukku, maka itu aku terima segalanya demi Mama, kebahagiaan Mama. 
Setelah sarapan aku dan Om Hadi briefing pagi bersama karyawan yang lain. Om Hadi memperkenalkan aku kepada karyawan yang lain. Om Hadi tidak memperlihatkan perbedaan perlakuan antara aku dan karywan lain, walaupun sebenarnya bisa saja aku minta perbedaan perlakuan dan fasilitas seperti yang biasa Om Hadi lakukan. Briefing pagi selesai, Om Hadi mengajakku bicara empat mata.
"Om tau Liani masih belum siap pisah sama Mama dan Diba, tapi Lia mau lihat mama bahagia kan?"
"Iya Om"
"Oleh karena itu disini tujuan Lia adalah belajar, kelak kalau semua sudah dirasa cukup Lia bisa ambil keputusan, mau tetap disini, pulang bersatu kembali dengan mama atau mau buka cabang dikota lain semua Lia yang putuskan, Jadi Om minta, bulatkan niat Lia. Karena segala sesuatu berawal dari niat. Bila Lia saja sudah tidak berniat, maka semua pelajaran, semua yang Lia lakukan disini akan sia-sia saja. Lia setuju?"
"Iya Om, makasih ya Om"
"Iya Lia, Satu lagi, Lia anggap Om sebagai orang tua Lia disini, Om siap mendengar keluh kesah dan Lia, bahkan ide-ide Lia pun Om siap dengarkan. Lia nggak perlu merasa sedih, harus semangat ya, dan selalu mulai dengan senyuman"
Aku mengangguk, benar yang dikatakan Om Hadi. Aku harus memperbaharui niatku. Aku tidak boleh egois. Maka mulai hari ini aku bersungguh-sungguh atas apa yang akan aku lakukan disini. Aku pun harus bersyukur, disaat teman-teman sibuk mencari pekerjaan, aku dengan mudahnya terfasilitasi untuk mendapatkan perkerjaan.
Sore setelah jam kerja aku mengantar Mama ke bandara.
Kini sudah hampir dua tahun aku menetap di kota ini. Semenjak hari pertama aku resmi meninggalkan segala kehidupan yang sangat nyaman di Palembang. Tidak ada lagi teman-teman terdekatku, walau kami tetap berhubungan lewat media sosial. Hampir setiap hari kami chatting di media sosial. Terkadang aku tak mampu menahan air mata karena rindu akan kebersamaan bersama mereka. Aku rindu berkumpul, bercanda bersama empat teman karibku. Biasanya setiap akhir minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama karoke, pergi ke salon, poto-poto atau sekedar nongkrong di cafe. Namun kini waktu mengubah segalanya. Kami sudah memiliki kehidupan baru masing-masing. Masuk ke dunia kerja. 
6/3/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar